Darussalam '45
Satukan yang tersisa, Kumpulkan yang terserak... "Together We Can"
Sabtu, 05 Januari 2013
IBU
Sabtu, 16 Juni 2012
TANGAN YANG DICIUM RASULULLAH SAW
Rabu, 05 Oktober 2011
Suatu hari, Imam Al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya lalu beliau bertanya (Teka Teki ) :
Imam Ghazali = ” Apakah yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini ?
Murid 1 = ” Orang tua “
Murid 2 = ” Guru “
Murid 3 = ” Teman “
Murid 4 = ” Kaum kerabat “
Imam Ghazali = ” Semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita ialah MATI. Sebab itu janji Allah bahawa setiap yang bernyawa pasti akan mati ( Surah Ali-Imran :185).
Imam Ghazali = ” Apa yang paling jauh dari kita di dunia ini ?”
Murid 1 = ” Negeri Cina “
Murid 2 = ” Bulan “
Murid 3 = ” Matahari “
Murid 4 = ” Bintang-bintang “
Iman Ghazali = ” Semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling benar adalah MASA LALU. Bagaimanapun kita, apapun keadaan kita, tetap kita tidak akan dapat kembali ke masa yang lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini, hari esok dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama”.
Iman Ghazali = ” Apa yang paling besar didunia ini ?”
Murid 1 = ” Gunung “
Murid 2 = ” Matahari “
Murid 3 = ” Bumi “
Imam Ghazali = ” Semua jawaban itu benar, tapi yang besar sekali adalah HAWA NAFSU (Surah Al A’raf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka.”
IMAM GHAZALI” Apa yang paling berat didunia? “
Murid 1 = ” Baja “
Murid 2 = ” Besi “
Murid 3 = ” Gajah “
Imam Ghazali = ” Semua itu benar, tapi yang paling berat adalah MEMEGANG AMANAH (Surah Al-Azab : 72 ). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka menjadi khalifah pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya berebut-rebut menyanggupi permintaan Allah SWT sehingga banyak manusia masuk ke neraka kerana gagal memegang amanah.”
Imam Ghazali = ” Apa yang paling ringan di dunia ini ?”
Murid 1 = ” Kapas”
Murid 2 = ” Angin “
Murid 3 = ” Debu “
Murid 4 = ” Daun-daun”
Imam Ghazali = ” Semua jawaban kamu itu benar, tapi yang paling ringan sekali didunia ini adalah MENINGGALKAN SOLAT . Gara-gara pekerjaan kita atau urusan dunia, kita tinggalkan solat “
Imam Ghazali = ” Apa yang paling tajam sekali di dunia ini? “
Murid- Murid dengan serentak menjawab = ” Pedang “
Imam Ghazali = ” Itu benar, tapi yang paling tajam sekali didunia ini adalah LIDAH MANUSIA. Kerana melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri “
Selasa, 04 Oktober 2011
Yahudi. Satu kata itu menjadi satu makian konspiratif bagi muslim, tidak hanya kalangan fundamentalis, tetapi juga tradisionalis. Setiap ada budaya yang dilihat sebagai sesuatu yang menggerogoti tradisi keislaman selalu dikaitkan dengan upaya Yahudi dalam melemahkan iman masyarakat muslim. Demikian, ungkap Martin Van Bruinessen dalam sebuah ceramah yang disampaikan pada Institut Dialog Antar Iman (DIAN), Yogjakarta tahun 1993.
Maulana Malik Israel bersama anggota dewan Wali Songo menyebarkan Islam hingga akhir hayatnya. Konon, beliau dikuburkan di sebuah bukit kecil di tepi Teluk Banten, Bojonegara, Kab. Serang, utara Kota Cilegon. Tampaknya, bukit itu dipilih pertama kali oleh Maulana Malik Israel sebagai ulama yang lebih tua dari Syeikh Sholeh bin Abdurrahman seorang penyebar Islam yang hidup pada masa Maulana Hassanuddin. Bukit itu berada pada lokasi yang memiliki titik pandang yang cukup indah ke arah barat sehingga dapat menjadi proyeksi tafakur pada saat menyepi. Masyarakat menyebut bukit itu dengan Gunung Santri. Konon, daerah itu adalah tempat santri belajar kepada guru ulama tersebut.
Pada masa selanjutnya, daerah itu disebut dengan nama Kampung Beji. Sebuah kampung yang kemudian menjadi basis pergerakan perlawanan masyarakat Banten terhadap Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 hingga masa kemerdekaan. Salah satu inspirator perlawanan itu adalah Maulana Malik Israel, selain tentunya Sultan Ageng Tirtayasa, musuh utama VOC.
Inspirasi itu masuk dalam beberapa bentuk, antara lain melalui keturunannya yang tersebar di hampir seluruh tanah banten. Salah satu keturunannya adalah Syeikh Jamaluddin yang dimakamkan di dekat Pelabuhan Merak. Keturunan Maulana Malik Israel konon dinikahi oleh kakek dari Syarif Hidayatullah. artinya, secara tidak langsung Syarif Hidayatullah sebagian dari dirinya berdarah Israili, selain berdarah Husseini. Jejak dari penghormatan kepada Maulana Malik Israel ini disebutkan dalam silsilah Maulana Hassanuddin yang disebutkan dalam Sejarah Banten dengan nama Sultan Bani Israel. Inspirasi itu, selain melalui darah genetik, adalah tradisi wasilah dalam doa yang dipanjatkan dalam setiap memulai doa, hizib atau munajat oleh masyarakat Banten.
Dus, Yahudi bagi orang Islam tidak melulu distigmakan oleh muslim sebagai musuh pengrusak iman ummat Islam, tetapi ada juga seorang Yahudi yang mendapatkan penghormatan sebagaimana para wali penyebar Islam di Jawa lainnya. {annuri furqon}
Senin, 25 Januari 2010
Kajian
IBROH
Bagaimana bila guru kencing berlari? Pertanyaan ini muncul begitu saja manakala teringat pemeo yang mengatakan guru kencing berdiri murid kencing berlari, peribahasa yang mengilustrasikan bahwa perilaku murid selalu mencontoh perilaku guru. Cermin dari siapakah jika kini anak didik memantulkan pergaulan bebas dan tawuran? Jangan-jangan dijaman yang serba tidak karuan ini kita terbiasa kencing sambil bernyanyi atau bahkan kencing sambil menari.
“Wahai Amirul Mukminin, tidakkah seorang anak mempunyai hak yang harus ditunaikan orang tua?” tanya seorang anak kepada Umar bin Khatthab, saat hendak menasihati anak yang diadukan durhaka oleh ayahnya.
“Ayah wajib memilih ibu yang baik buat anaknya, memberi nama yang baik dan mengajarkan al-Qur’an.” Jawab sang khalifah.
Lantas anak tersebut berceloteh, “tidak satu pun dari tiga perkara tersebut yang ditunaikan ayahku. Ibuku seorang Majusi, namaku Ja’lan (artinya: kuda tunggang), dan aku tidak pernah diajari membaca apalagi mengamalkan al-Qur’an”.
Umar bin Khatthab menoleh kepada ayah dari anak itu dan mengatakan, “Anda datang mengadukan anakmu, ternyata Anda telah mendurhakainya sebelum ia mendurhakaimu. Anda telah berlaku tidak baik terhadapnya sebelum ia berlaku tidak baik kepada Anda”.
Ada kegundahan, kerisauan dan kekhawatiran, disamping sepercik harapan yang tersisa dalam samudera asa ketika bayangan merona tentang fenomena yang terjadi dalam dunia kita, khususnya dunia pendidikan dan lebih khusus lagi pendidikan ala pesantren. Perenungan yang muncul sebelum tidur adalah, “Masih adakah desir menggetar pada urat nadi santri yang menjalar, hingga ubun-ubunnya terasa hangat tatkala seorang kyai atau ustadz mendekat ke meja tulis mereka, seperti dulu masa-masa kita menjadi santri?”
Praduga sementara melalui pengamatan indrawi, serta resume dari obrolan santai dibawah rumpun bambu penjuru pesantren dengan seorang alumnus yang tidak diragukan lagi loyalitasnya terhadap almamater, rasa-rasanya ada pergeseran paradigma pendidikan yang bergeser ke arah minus dalam tataran pola ucap dan pola perilaku pendidik (dalam hal ini Mudabbir) yang disebabkan kontaminasi penjejalan pola pikir orang Yahudi. Sehingga muncul pertanyaan: “Masih adakah rindu saat seorang guru sakit seminggu, malu saat bertemu guru, takdzim karena guru bersih dar perilaku dzolim, rasa hormat serta pengakuan nan tulus dari dhomir dan kesadaran yang dalam pada diri santri?”
Senyum guru pun beraneka ragam. Ada senyum kambing kering, senyum raja, senyum simpul, senyum manis, dan senyum sinis. Senyum kambing kering atau senyum sinis adalah naluri yang dimiliki secara kodrati, ia datang tanpa dicari. Tetapi senyuman itu harus dihindari karena ia akan meracuni silaturrahim.
Dimana dan kemana kita harus mencari seandainya kulum senyum dan gelombang cinta yang menghiasi pola kehangatan guru-santri sirna ditelan telenovela? Mari kita cari dan raih kembali, sebab kulum senyum itu sebenarnya ada dalam syiar agama dan seyogianya perilaku bak lembayung senja itu terukir indah dalam bingkai pergaulan umat manusia.
Apakah kambing guling yang harus mengambil peran, sesudah kambing hitam hilang dari peredaran karena lelah dan geram setelah sekian lama menjadi sasaran pelemparan? Wong masyarakat yang cuma mengenyam pendidikan di madrasah setingkat RA di Musholla saja tidak pernah mencaci dan memaki gurunya apalagi sampai memukulinya. Ada apa dengan Santri/Siswa jaman sekarang?
Sudah menjadi pengetahuan umum tentang seringnya terjadi perilaku menyimpang yang dilakukan oknum pendidik terhadap muridnya, begitu juga tentang tindakan menyimpang yang dilakukan murid/orang tua murid terhadap guru.
Kita adalah manusia, guru juga manusia. Tetapi akan senada apabila kita juga tidak ingin lagi mendengar atau membaca dalam media massa, “penipuan, pencurian, pelecehan seksual, sampai pembunuhan” yang melibatkan kita untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan moral tersebut. Kita hapuskan peristiwa memilukan dan memalukan itu sambil melafadzkan wana’udzubillahi min dzalik.
Yang perlu kita sesali dan renungi mengapa hal itu sampai terjadi?!
Kapan dan siapakah yang mau dan mampu membenahi carut marutnya sistem pendidikan, dan berani menarik kencang permasalahan ini sehingga benang kusut ini kembali lurus?
Jawabannya:
“Sekarang!”
“Kita!”
Jangan terlena. Campakkan semua kesombongan dan kepura-puraan agar mutiara yang hilang kembali kepangkuan. Dengan menukil sebagian ayat “من الظلمات الى النور”, bagaimana kita mengeluarkan umat dari kegelapan kepada cahaya untuk mendapatkan sesuatu yang baik yang terang dan bisa membawa umat ini pada hal yang luar biasa dan diridhaiNya.
Hanya sebait syair yang dapat terungkap: “Ya ilahi ya robbi, kupinang cintaMu hari ini, malam ini. Dan doa kukirim ke ‘arsyMu. Karena disini ada wajahMu, disini ada rahmanMu, disini ada rahimMu, dalam sujud ada maghfirahmu, untuk membersihkan peluh kami. Maka luruskanlah kami”.