WHAT'S NEW?
Mengkaji Kembali
Paradigma Pendidikan Kita
Saya teringat kembali dengan masa awal masuk pondok, atau bahasa kerennya menjadi santri baru, ketika mengikuti Khutbatul 'Arsy atau khutbah perkenalan yang diikuti oleh semua santri (idealnya hanya diikuti oleh santri baru). Ada pertanyaan yang sampai sekarang masih saya ingat. Kalau tidak salah adalah "kemanakah tujuanmu, dari mana, mau kemana dan mau dibawa kemana?". Dulu saya menjawabnya dengan kalimat yang sangat simpel, "dari rumah,mau mondok", itulah jawaban dari seorang calon santri (pada waktu itu) yang jujur dan tidak punya dosa, serta tidak tahu maksud pertanyaannya apa.
Tetapi jika pertanyaan itu diputar kembali dan diajukan kepada saya sekarang, maka bunyinya akan menjadi kurang lebih: "seperti apa karakter calon santri yang diharapkan oleh pondok pesantren? dan akan dibentuk jadi apa?"
Dengan diulangnya pertanyaan dasar semacam itu, apakah sekarang kita harus kembali kemasa itu? agar bisa menjawabnya dengan baik dan benar?... Tentu saja tidak. Yang harus kita lakukan adalah kembali ketitik awal dengan menapak tilasi sejarah sambil mengoreksi jejak peninggalan yang telah kita lewati, lalu mempersiapkan langkah pijakan dimasa depan.
Orang pintar mengatakan,'belajarlah dari pengalaman' atau versi bahasa Inggrisnya 'experience is the best teacher', tapi orang yang cerdas berkata "belajarlah dari pengalaman orang lain".
Saya mengakui, memang masih sangat jauh bagi saya untuk dapat disebut 'orang berhasil', tapi saya selalu bercermin kepada orang yang sudah mendahului saya dalam hal kesuksesan. Secara garis besar banyak hal pada saat ini yang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan disebabkan oleh inti permasalahan yang tidak pernah terselesaikan. Maka, mau tak mau kita harus berlomba dengan mesin waktu sejarah, membuka pemikiran, menoleh kebelakang, melihat jejak langkah dan menyatukan kembali benang merah yang telah kusut dan terputus.
Lalu bagaimana perspektif kemungkinan yang dapat diharapkan untuk kedepannya? Apakah menjadi 'santri mambu' atau 'mambu santri'?
Baiklah, sekarang saya balik bertanya, "apa yang diinginkan lembaga Pondok Pesantren dari puluhan bahkan ratusan santri yang mendaftar setiap tahunnya?" apakah mereka akan dicetak menjadi kiai atau ustadz semua (bahkan pengertian ustadz pun pastilah tidak sederhana)?. Bagaimana penyaringannya? dari mulai pekan perkenalan, masa orientasi santri, pembekalan, sampai kepada materi yang diujikan untuk mengetahui minat calon santri. Jawabannya adalah, mencari calon santri yang skill religinya lumayan dan mau di didik.
Lalu lihatlah output nya setelah mereka lulus (dari yang melalui jalan lurus sampai dengan lewat jalan yang dimurkai), sebagian besar berprofesi sebagai pengangguran tetap (yang agak parah), yang kurang mujur menjadi kuli, petani, karyawan pabrik, karyawan kantor/OB, bahkan TKI, sedangkan yang agak lumayan, sesuai dengan basic pendidikannya adalah menjadi tenaga pengajar Madrasah Diniyah didaerahnya masing-masing. Dan itu adalah posisi yang cukup laku untuk alumnus pendidikan berbasis agama (baik yang megang ijazah maupun yang tangannya kosong). Selain itu ada juga yang beruntung meneruskan pendidikannya ke jenjang Perguruan Tinggi dengan biaya sendiri.
Output nya dianggap memiliki kualitas yang handal.
Saya termasuk yang tidak setuju dengan pendapat bahwa setiap lulusan Pondok Pesantren Darussalam pasti handal dalam skill keilmuan baik umum maupun agamanya.
Alasannya...?
It's real..., in front of our eyes, dan masih ada 3 (tiga) alasan yang akan saya sajikan dientri berikutnya.
Mari kita kaji bersama...
Wal 'afwu minkum...