Senin, 25 Januari 2010

Kajian

WHAT'S NEW?

IBROH

Bagaimana bila guru kencing berlari? Pertanyaan ini muncul begitu saja manakala teringat pemeo yang mengatakan guru kencing berdiri murid kencing berlari, peribahasa yang mengilustrasikan bahwa perilaku murid selalu mencontoh perilaku guru. Cermin dari siapakah jika kini anak didik memantulkan pergaulan bebas dan tawuran? Jangan-jangan dijaman yang serba tidak karuan ini kita terbiasa kencing sambil bernyanyi atau bahkan kencing sambil menari.

“Wahai Amirul Mukminin, tidakkah seorang anak mempunyai hak yang harus ditunaikan orang tua?” tanya seorang anak kepada Umar bin Khatthab, saat hendak menasihati anak yang diadukan durhaka oleh ayahnya.

“Ayah wajib memilih ibu yang baik buat anaknya, memberi nama yang baik dan mengajarkan al-Qur’an.” Jawab sang khalifah.

Lantas anak tersebut berceloteh, “tidak satu pun dari tiga perkara tersebut yang ditunaikan ayahku. Ibuku seorang Majusi, namaku Ja’lan (artinya: kuda tunggang), dan aku tidak pernah diajari membaca apalagi mengamalkan al-Qur’an”.

Umar bin Khatthab menoleh kepada ayah dari anak itu dan mengatakan, “Anda datang mengadukan anakmu, ternyata Anda telah mendurhakainya sebelum ia mendurhakaimu. Anda telah berlaku tidak baik terhadapnya sebelum ia berlaku tidak baik kepada Anda”.

Ada kegundahan, kerisauan dan kekhawatiran, disamping sepercik harapan yang tersisa dalam samudera asa ketika bayangan merona tentang fenomena yang terjadi dalam dunia kita, khususnya dunia pendidikan dan lebih khusus lagi pendidikan ala pesantren. Perenungan yang muncul sebelum tidur adalah, “Masih adakah desir menggetar pada urat nadi santri yang menjalar, hingga ubun-ubunnya terasa hangat tatkala seorang kyai atau ustadz mendekat ke meja tulis mereka, seperti dulu masa-masa kita menjadi santri?”

Praduga sementara melalui pengamatan indrawi, serta resume dari obrolan santai dibawah rumpun bambu penjuru pesantren dengan seorang alumnus yang tidak diragukan lagi loyalitasnya terhadap almamater, rasa-rasanya ada pergeseran paradigma pendidikan yang bergeser ke arah minus dalam tataran pola ucap dan pola perilaku pendidik (dalam hal ini Mudabbir) yang disebabkan kontaminasi penjejalan pola pikir orang Yahudi. Sehingga muncul pertanyaan: “Masih adakah rindu saat seorang guru sakit seminggu, malu saat bertemu guru, takdzim karena guru bersih dar perilaku dzolim, rasa hormat serta pengakuan nan tulus dari dhomir dan kesadaran yang dalam pada diri santri?”

Senyum guru pun beraneka ragam. Ada senyum kambing kering, senyum raja, senyum simpul, senyum manis, dan senyum sinis. Senyum kambing kering atau senyum sinis adalah naluri yang dimiliki secara kodrati, ia datang tanpa dicari. Tetapi senyuman itu harus dihindari karena ia akan meracuni silaturrahim.

Dimana dan kemana kita harus mencari seandainya kulum senyum dan gelombang cinta yang menghiasi pola kehangatan guru-santri sirna ditelan telenovela? Mari kita cari dan raih kembali, sebab kulum senyum itu sebenarnya ada dalam syiar agama dan seyogianya perilaku bak lembayung senja itu terukir indah dalam bingkai pergaulan umat manusia.

Apakah kambing guling yang harus mengambil peran, sesudah kambing hitam hilang dari peredaran karena lelah dan geram setelah sekian lama menjadi sasaran pelemparan? Wong masyarakat yang cuma mengenyam pendidikan di madrasah setingkat RA di Musholla saja tidak pernah mencaci dan memaki gurunya apalagi sampai memukulinya. Ada apa dengan Santri/Siswa jaman sekarang?

Sudah menjadi pengetahuan umum tentang seringnya terjadi perilaku menyimpang yang dilakukan oknum pendidik terhadap muridnya, begitu juga tentang tindakan menyimpang yang dilakukan murid/orang tua murid terhadap guru.

Kita adalah manusia, guru juga manusia. Tetapi akan senada apabila kita juga tidak ingin lagi mendengar atau membaca dalam media massa, “penipuan, pencurian, pelecehan seksual, sampai pembunuhan” yang melibatkan kita untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan moral tersebut. Kita hapuskan peristiwa memilukan dan memalukan itu sambil melafadzkan wana’udzubillahi min dzalik.

Yang perlu kita sesali dan renungi mengapa hal itu sampai terjadi?!

Kapan dan siapakah yang mau dan mampu membenahi carut marutnya sistem pendidikan, dan berani menarik kencang permasalahan ini sehingga benang kusut ini kembali lurus?

Jawabannya:

“Sekarang!”

“Kita!”

Jangan terlena. Campakkan semua kesombongan dan kepura-puraan agar mutiara yang hilang kembali kepangkuan. Dengan menukil sebagian ayat “من الظلمات الى النور, bagaimana kita mengeluarkan umat dari kegelapan kepada cahaya untuk mendapatkan sesuatu yang baik yang terang dan bisa membawa umat ini pada hal yang luar biasa dan diridhaiNya.

Hanya sebait syair yang dapat terungkap: “Ya ilahi ya robbi, kupinang cintaMu hari ini, malam ini. Dan doa kukirim ke ‘arsyMu. Karena disini ada wajahMu, disini ada rahmanMu, disini ada rahimMu, dalam sujud ada maghfirahmu, untuk membersihkan peluh kami. Maka luruskanlah kami”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tuliskan komentar anda disini